Kabut pagi belum juga beranjak pergi
meskipun sudah mulai menipis. Dua orang nenek sedang sibuk memegang tali. Kedua
tangan mereka bergantian mengulur dan menarik tali itu. Roda kayu
berputar-putar menggulungnya. Tali berwarna hitam sekilas seperti rambut yang tak pernah dicuci.
Satu persatu disambung, dililit, dipelintir menjadi tali yang panjang
berdiameter setengah centimeter. Gempa Bantul yang lalu, beberapa bangunan
darurat menggunakan tali ini sebagai pengikat antar bambu yang digunakan
sebagai kerangkanya.
Ijuk atau injuk kata urang sunda, menumpuk
di gudang-gudang sepanjang Cimuncang. Tercecer di sepanjang jalan yang rusak
aspalnya. Didatangkan dengan truk-truk berplat nomor "z". Konon ijuk
berasal dari pohon kawung atau semacam aren yang juga menghasilkan kolang-kaling dan gula merah, pelepahnya bisa juga dibuat menjadi gagang pisau, didalamnya
terbungkus serat hitam panjang seperti rambut. Serat tersebut biasanya diturunkan
satu persatu dari truk melewati gabah yang sedang dijemur beralaskan tikar anyaman bambu di sepanjang
jalan Cimuncang yang rusak.
Diantara tumpukan ijuk tersebut ada
beberapa plastik berwarna-warni, merah, hijau, biru. Berbentuk segitiga yang
bagian bawahnya terdapat beberapa lubang. Plastik ini biasa digunakan untuk
memasang ijuk lalu bagian atas dipasang gagang, jadilah sebuah sapu ijuk.
Cimuncang dan Cigintung yang baru saja terkena musibah bencana pergeseran tanah
memang dikenal sebagai penghasil sapu ijuk.
Pengusaha ijuk tampak mencolok diantara
warga lainnya. Biasanya bangunan rumahnya paling megah dan berlantai dua, dengan
pintu harmonika yang panjang, didalamnya berisi ijuk dan aktifitas untuk
merangkainya menjadi tali dan sapu. Kepadatan penduduk di Cimuncang
memperlihatkan perbedaan tersebut. Tak ada tanah pekarangan layaknya
rumah-rumah di desa seperti kebanyakan. Setiap rumah seperti kembar siam,
saling berdempetan. Sementara di Cigintung rumah mewah dan rumah biasa saja
telah roboh akibat bencana pergeseran tanah, keduanya tak lagi memiliki
perbedaan.
Beberapa masjid mewah berdiri di Desa Cimuncang. Jika
berjalan menelusuri bukit-bukit diatas desa tersebut, masjid-masjid itu
bagaikan fatamorgana ditengah gurun pasir yang tentu saja eye catching. Keberadaannya terlihat paling jelas diantara bangunan
lainnya. Masjid seperti istana sebuah kerajaan yang berada ditengah-tengah pemukiman warga. Cobalah berjalan lebih dekat
ke arahnya, maka istana tersebut tidak akan membagikan kemegahannya. Sekalipun pada
langgar yang notabene kerabatnya bahkan pada empang yang bisa menegaskan
kemerdekaan orang-orang Cimuncang.
Jika malam tiba keindahan istana itu
terpancar semakin megah dengan sorotan lampu yang mengarah di kubahnya. Disebrangnya
sekerumunan orang sedang asyik berbincang-bincang. Jalan sekitar masjid setiap
malam selalu ramai suasananya, mereka melepas lelah setelah seharian bergelut
dengan ijuk. Kerumunan orang dewasa dan remaja selalu terpisah. Orang dewasa biasanya
menempati warung-warung kopi, ada pula yang asyik bermain kartu remi di warung
pojok dibawah sinar lampu temaram. Remaja duduk didepan teras rumah sambil
mengalunkan lagu-lagu jaman sekarang menggunakan gitar, gitar yang sekaligus
menjadi alat pukul, dua orang mengiringi nyanyian tersebut satu orang bermain
gitar dengan memetik senarnya, orang yang lain bermain gitar untuk memberikan
tempo dengan memukulinya di bagian belakang body
gitar. Mereka dan angin lembah selalu menyambut kedatangan jamaah yang jumlahnya
bisa dihitung dengan jari tangan. Mereka akan beribadah di istana yang megah
tersebut.
Sementara plastik-plastik
berserakan di pinggir-pinggir jalan, sebagian larut dalam hujan hingga terbawa
di empang. Terkumpul di sudut-sudut empang, sesekali menggangu para pemancing
yang berdatangan ketika ada orang yang merayakan syukuran dengan melepas banyak
ikan kedalamnya. Tertimbun tanah, seakan mereka dipaksa membusuk didalamnya agar
menyatu menjadi tanah atau hanya untuk sekedar melupakannya tetapi mereka
bagaikan minyak dalam air, tak dapat bersatu. Tertiup angin hingga berterbangan
kemana-mana bahkan ke sekolah-sekolah seolah mengajarkan murid-murid untuk membiarkannya.
Kebersihan sebagian dari
iman begitulah kata pepatah yang sangat familiar ditelinga kita. Iman biasanya muncul
dari orang-orang yang rajin beribadah. Tempat ibadah seperti masjid pastinya
mengajarkan orang-orang yang beriman untuk menjaga kebersihan. Tokoh agama selalu mengingatkan agar kita selalu menjaga keimanan. Menjaga
kebersihan merupakan manifestasi dari menjaga keimanan. Namun tokoh dan umat
beragama lebih memahami bahwa manifestasi keimanan adalah bekerja mencari
nafkah, memenuhi kehidupan dunianya. Seperti yang diutarakan oleh mbah Weber
dalam Protestant Ethic yang mendasari
lahirnya kapitalisme. Sehingga kita lupa akan manifestasi keimanan yang sangat
sederhana tersebut, menjaga kebersihan.
Di tempat yang menghasilkan sapu tersebut,
masalah kebersihan sesunguhnya menjadi sebuah bom waktu yang suatu saat bisa
meledak. Persis seperti wabah penyakit gondok dalam masyarakat pesisir
penghasil garam. Kita telah lupa “menyapu” daerahnya sendiri padahal
menghasilkan banyak sapu. Orang yang tidak punya sapu mungkin kesulitan
membersihkan lingkungannya tapi di daerah penghasil sapu justru melupakan
fungsi sapu. Manifestasi keimanan tidak mampu ditularkan oleh tokoh agama
melalui spirit megahnya sebuah istana masjid, kalau tak sedikitpun mereka
membicarakannya bagaimana dengan sekerumunan orang yang asyik di jalanan
masjid? Kalau kita telah lupa menjaga kebersihan, bagaimana dengan menjaga
alam? Semoga dibalik bencana pergeseran tanah di
Cigintung yang disebabkan oleh ulah manusia selalu ada hikmahnya.
Kabut pagi kembali turun, menemani para
pekerja pembuat sapu ijuk, megahnya Gunung Ciremai tertutup olehnya, begitu seterusnya.
ijin copas kang
ReplyDeleteSok :)
ReplyDeleteThis comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDelete