Bukan Uang


Kemarin (8/11) saya pergi ke Menayu, Magelang, bersama kang Kuncoro dan Nugroho. Saya belajar bersama Ibu-ibu rumah tangga untuk menciptakan ketahanan pangan lokal. Seperti di tempat lain (Sumber dan Banyusoco) yang biasanya juga ku jadikan tempat belajar, disana kami memanfaatkan pekarangan untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga. Kami menanam sendiri apa yang kami makan, sehingga tidak perlu membeli, dan tentu saja kami berbudidaya dengan cara yang ramah lingkungan sehingga kualitas panenannya pun baik untuk kesehatan. Kami berupaya juga mengkoleksi benih-benih tanaman lokal, karena menurut kami itu juga merupakan simbol jati diri bangsa ini.

Singkat cerita, saat itu kami sedang praktek cara-cara pembuatan mikro organisme lokal, yang dapat dimanfaatkan untuk pembuatan kompos. Memang sejak awal ketika kami berangkat turun hujan, sempat reda ketika acara hendak dimulai. Namun hujan turun kembali saat kita melakukan praktek tersebut. Alhasil kita basah kuyup, kalau ibu-ibu sih sudah pada sedia payung. Tapi kita sempat di-payungi dan praktek masih berjalan ditengah hujan. Karena hujan tidak menurunkan semangat kami :)

Muncul sebuah permintaan maaf dari Bu Endang (ketua kelompok wanitanya) "Mohon maaf mas, selama ini kita tidak bisa nyangoni*, saya tidak enak masnya sudah jauh-jauh kesini pasti butuh bensin segala macem juga". Kuncoro menjawab "Tidak apa-apa bu urusan itu bisa kami atasi, nyatanya kita masih bisa kesini to?, hehe". Nugroho menjawab "Wah bagi kami ada teman untuk merealisasikan gagasan tentang ketahanan pangan sudah sangat luar biasa bu". Dan saya menjawab "Wah ndak bisa bu, saya tetep ndak terima kalau ndak disangoni !, sangu kan ndak harus uang tapi kita bisa disangoni dengan ilmu, sangu juga bisa dengan berbagi cinta dan kasih sayang bu !". Dan apa yang terjadi selanjutnya? kita hanya menikmati tawa yang penuh makna.

*sangu = pesangon(uang), nyangoni = memberi pesangon

Comments