Di penghujung
tahun 2011 ini saya masih penasaran dengan segelintir orang yang percaya bahwa
dimanapun mereka tinggal (selama masih di Indonesia) tidak memerlukan banyak
uang untuk dapat bertahan hidup. Mereka dapat menanam apa yang mereka makan
atau memakan apa yang mereka tanam sehingga mereka tidak perlu pergi jauh-jauh
mencari nafkah. Mereka adalah orang-orang muda dan berjiwa muda yang percaya
bahwa alam akan memberi mereka “hidup” selama mereka menjaga, menyayangi dan
mencintainya. Dan mereka (selalu) mendapatkan resistensi dari orang-orang
sekitarnya.
Pagi tadi
saya blusukan ke Samigaluh, Kulonprogo. Saya bertemu dengan Mas Ndoko, seorang
pemuda sebuah desa di sana yang menjadi objek penasaran saya. Dengan lima
pemuda lainnya, Ia menggiatkan pertanian ramah lingkungan karena prihatin warga
sekitar makan makanan yang tidak jelas asal usulnya, dan yang belum tentu sehat
pastinya. Mereka juga prihatin terhadap petani yang harus membeli bahan
makanan, padahal seharusnya mereka bisa menanamnya sendiri. Dengan “kebun
organik” mereka berharap masyarakat sekitar dapat hidup sehat dan
mencintai lingkungan sekitarnya. Selain itu mereka juga mengenalkan pertanian
kepada generasi muda dengan memasukkan kurikulum “pertanian” di SD setempat.
Resistensi,
mungkin itu sebuah perihal yang tidak tepat ditujukan bagi mereka namun itulah
yang terjadi. Mas Ndoko selalu bangga menjadi seorang petani, sampai-sampai Ia
menginginkan status pekerjaan di dalam KTP dituliskan bekerja sebagai petani. Namun
petugas pembuat KTP tersebut selalu ngeyel dan selalu bilang “mosok pekerjaane petani, yo ra wangun lah
mas, sampeyan kan isih enom mosok kerjone dadi petani, lha mbok ditulis
wiraswasta wae”. Ia selalu ingin dituliskan sebuah kata petani di KTPnya,
namun selalu ditolak oleh petugas pembuatnya. Lantas ia akhirnya mengalah dan
menerima saja dianggap sebagai wiraswasta dan dicantumkan di KTPnya. Adakah yang
salah disini? Apakah petani bukan sebuah pekerjaan? Atau masyarakat kita malu
punya banyak petani?. Saya pikir harus ada penghargaan terhadap petani, mereka
telah berjasa membuat perut kita selalu “kenyang”.
Comments
Post a Comment