“Nek dikandani apik-apik, malah nesu...” Kata Upik waktu Ia berdiskusi tentang pedestrian Malioboro. Banyak masalah yang diungkapkan oleh anak-anak setelah kita jalan-jalan menelusuri pedestrian Malioboro dan berfoto di bangku seperti orang kebanyakan. Saat itu kita sedang menghayati peran seandainya menjadi Walikota Jogja. Bagaimana cara menata kota. Kasus yang kita angkat tentang penataan wilayah Malioboro.
Upik mengungkapkan bahwa tempat sampah yang disediakan malah
kosong isinya, dia melihat banyak orang buang sampahnya di trotoar. Upik belum
menegur orang itu, Ia masih menduga seandainya Ia memperingatkannya, orang itu
akan marah-marah. Tentu saja Upik tidak asal ngomong, Ia sering lihat orang
seperti itu, orang yang berbuat salah tetapi tidak terima dengan kesalahannya.
Upik masih kelas 5 SD. Bersama Dimas, Mustika dan beberapa
temannya, ku ajak mereka jalan-jalan ke Malioboro pada minggu siang. Anak-anak
itu sangat beruntung karena hidup di “jalan” dan tidak banyak menerima pengaruh negatif. Aku sering memposisikan anak-anak sebagai orang dewasa. Tentu
saja harus ku kemas apa yang ingin ku bicarakan kepada mereka dengan “bahasa”
mereka. Tidak mudah untuk melakukan itu. Ini semua kulakukan agar mereka kelak
tidak sepertiku. Agar mereka menghindari keterpurukan seperti yang menimpa diriku. Karena itulah
aku tidak harus menjadi orang baik untuk bisa dicontoh oleh mereka.
Keterpurukanku bisa saja sama dengan keterpurukan orang
lain. Jika memang demikian, ini sudah
menjadi masalah kolektif. Misalnya tentang tempat yang nyaman untuk ditinggali, aku butuh suasana yang tenang dengan polusi yang minim, baik polusi
udara, suara maupun cahaya. Bagaimana aku bisa melakukan perenungan jika saat
dini hari aku masih mendengar suara-suara yang dihasilkan oleh aktivitas
manusia. Dimanakah makna toleransi jika orang-orang yang menghasilkan suara itu
tidak memahami bahwa waktu dini hari sebaiknya membiarkan kesunyian
berlangsung. Buatku perenungan sangat penting, se-penting ibadah yang khusyuk
bagi orang-orang shaleh, mereka pun tak jarang yang komplain tentang konvoi
suporter sepakbola kasta antah berantah saat adzan mahrib tiba. Sesungguhnya aku
juga ingin komplain dengan speaker masjid pukul dua pagi karena aku merasa
terpuruk dengan itu.
Masalah kolektif ini yang ingin aku tunjukkan ke anak-anak
melalui pedestrian Malioboro. Lalu mengapa harus menjadi Walikota? Aku tidak
bermaksud menyuruh mereka mendukung Walikota atau bercita-cita menjadi Walikota.
Aku hanya ingin menggiring anak-anak melihat pedestrian dari sisi pembangunnya,
agar tahu alasan dibuatnya. Dan sebenarnya kita bukan walikota jadi kita punya
sudut pandang lain yang lebih nyata tentang pedestrian Malioboro. Artinya kita
punya dua sudut pandang untuk melihat kawasan itu. Dan tentu saja sudut pandang itu untuk
memahami masalah kolektif tersebut.
Mustika menulis “Ada yang kencing sembarangan” di buku
catatan kecilnya. Dia sangat tidak nyaman dengan hal itu, padahal dia sangat
dekat dengan hal-hal semacam itu. Dia saja tidak nyaman apalagi orang lain yang
tidak dekat dengal hal-hal itu. Jadi apakah orang yang kencing sembarangan itu
sadar bahwa hal itu mengganggu orang lain? Aku yakin mereka paham, tetapi
karena hal itu dianggap biasa saja maka mereka tetap melakukannya. Bahkan didepan
istana Presiden atau monumen-monumen yang mengingatkan kita tentang perjuang
masa lalu, yang memang masih di sekitar Malioboro.
Kencing sembarangan hanya satu contoh masalah yang
menjadi masalah kolektif. Aku yakin masalah itu juga sama dengan masalah
sampah, atau tentang limbah dari PKL, dan masih banyak lagi. Sebaiknya Anda
datang langsung untuk mengamati apa saja yang membuat Anda tidak nyaman di
Malioboro. Semua masalah tersebut adalah masalah kolektif yang mengganggu
kenyamanan pengunjung. Hampir semua yang datang ke Malioboro bertujuan untuk
rekreasi, keinginan tersebut terganggu karena masalah itu. Penataan kawasan
tersebut juga untuk kenyamanan pengunjung meskipun ada beberapa pekerja jalanan
yang kehilangan pekerjaan karena kegiatan ini, itu masalah lain. Artinya
sebenarnya kita semua menginginkan kenyamanan. Para pelaku pengganggu
kenyamanan pun sebenarnya menyadari bahwa ulahnya mengganggu kenyamanan. Apakah
ini bisa dibilang intoleransi?
Mungkin memang begitu. Karena toleransi tidak melulu tentang
perbedaan agama. Memahami keinginan orang lain juga termasuk toleransi. Penataan
Malioboro seharusnya menyentuh ranah toleransi, itu pun masyarakat juga harus
terlibat mewujudkannya. Jadi kalau kamu sengaja kencing sembarangan, membuang
sampah sembarangan, membuang limbah jualanmu sembarangan, meminta-minta, dll,
sedangkan kamu tau itu mengganggu orang lain, itu artinya kamu sudah melakukan
tindakan intoleransi. Mengapa kita begitu mudahnya melakukan intoleransi? Karena
kita lupa mewarisi budaya leluhur kita, padahal mereka punya anggapan bahwa bumi yang
ditinggali hanyalah pinjaman anak-cucunya. Maka mereka meninggalkan
petuah-petuah untuk kita tetapi kita lupa.
Lalu anak-anak aku ajak yuoutuban melihat banjir di Jepang
yang menyebabkan beberapa tempat terlihat seperti kolam renang. Itu menunjukkan
bahwa disana kebersihan sangat terjaga, coba kalau banjirnya disini, mirip
seperti apa? Itu juga menunjukkan bahwa mereka masih memegang erat budaya
leluhur, termasuk salah satunya menjaga kebersihan sebagai wujud dari toleransi.
Sesungguhnya kita juga memilikinya. Tetapi kita lupa.
Aku juga menjelaskan ke anak-anak jika di beberapa gunung di
Indonesia, pengelolanya menghitung jumlah plastik yang dibawa oleh pendakai
saat naik dan turun sama atau tidak. Mereka dilarang meninggalkan sampah di
gunung. Kalau jumlah plastiknya pas turun lebih sedikit, bisa saja plastiknya
dibuang di gunung. Karena disana manusia benar-benar berdampingan dengan mahluk
Tuhan lainnya, tumpukan sampah yang dibawa manusia menyebabkan mahluk lainnya
terganggu bahkan bisa memusnahkannya. Malioboro memang bukan gunung, tetapi aku
tanyakan ke anak-anak, bagaimana jika setiap yang datang kesana dihitung juga
plastiknya? Atau didenda jutaan rupiah jika ketahuan nyampah, seperti di Singapura?
Yang benar-benar ditindak tegas, Singapura kan karakter masyarakatnya mirip
dengan kita?
Anak-anak menjawab “Kayanya susah deh, orang dikasih tau
baik-baik aja malah nyolot...” Upik juga menjawab seperti di awal kalimat
tulisan ini. Malioboro memang bukan alam bebas seperti gunung. Tidak banyak
mahluk Tuhan lainnya yang hidup disitu. Manusia bisa seenaknya saja bertindak
dan berpendapat. Aku tanya lagi ke mereka, jadi Walikota susah apa gampang? Kalau
jadi rakyat gimana? Mereka menjawab dengan topik pembicaraan lain “Mas pinjam
laptop ya, buat nonton film” Ah sepertinya aku butuh kopi lagi
Aku suka aku suka tulisan mas sanna ��
ReplyDeleteDadi semangat sinau meneehhh..
nuwun Fan :)
Deletekok sinau meneh? sinau kan setiap saat tekan mati hehe