"Mas menawi wit lombok kaliyan tomate kok podo munter-munter ki pripun nggih?", dalam hati saya menjawab "wah saya nggak tahu bu, nggak pernah 'diajari' di kampus......." Begitulah kira-kira ketika saya menjadi juri perlombaan berlabel stren (kumpulan para isteri) di daerah Piyungan, Bantul yang di selenggarakan oleh organisasi setempat. Perlombaan tersebut mengharuskan ibu-ibu rumah tangga menanam sayuran di pekarangannya. Saat menjadi juri saya harus meninjau langsung tanaman yang ditanam mereka, antusiasme mereka dalam menanam, apakah tanaman mereka ditanam secara sehat dan ramah lingkungan, apakah tanaman mereka dikonsumsi sendiri, dll. Saat itulah ibu-ibu mulai banyak bertanya tentang hama dan penyakit yang menyerang tanaman mereka. Dan saat itulah saya selalu kebingunan untuk menjawabnya.
Saya ingin menjawab, bahwa saya ketika melakukan budidaya tanaman selalu mengabaikan aspek hama dan penyakit tanaman. Saya saat ini tidak menggunakan pupuk, pestisida dan hormon untuk tanaman dalam bentuk apapun. saya hanya memotong rerumputan dan dedaunan yang saya letakkan di sekitar tanaman, itu saja. Rerumputan tersebut masih bisa tumbuh kembali. Saya menggunakan benih dari hasil panen sendiri. Mengapa? saya menyerahkan tanaman yang saya tanam sepenuhnya pada siklus alam, bahwa hama ataupun penyakit adalah bagian dari siklus tersebut. Saya biarkan saja ketika tanaman terserang hama maupun penyakit. Toh ternyata tak ada tanaman yang mati, bahkan saya bisa memanennya. Dan cara menanam seperti ini relatif lebih ramah lingkungan, dan yang paling penting rasa panenannya lebih enak, serius.
Memang saya menanam hanya di kebun yang relatif kecil, tapi itu bisa saya panen tiap hari untuk saya konsumsi sendiri meskipun secara fisik tanamannya ora mbejaji. Saat ini harus ditekankan bahwa bentuk fisik tanaman tidak penting, yang penting adalah mampu memenuhi kebutuhan keluarga secara sehat dan aman di segala aspek. Bayangkan jika tiap keluarga di Indonesia bisa menanam sendiri kebutuhan pangannya, pasti masalah lingkungan bisa diatasi, pasti tidak ada yang kelaparan, pasti tersedia makanan sehat, bukankah begichu??
Tapi saya belum berani bilang seperti itu kepada ibu-ibu di Piyungan. Perlu pendekatan yang lebih mendalam terlebih dahulu agar tidak terjadi kesalah pahaman. Karena cara yang saya lakukan tentu saja tidak mainstream. Semoga masih ada waktu untuk berbincang-bincang bersama ibu-ibu di Piyungan. Karena kebetulan saya meminta rekan kerja saya agar saya menghandle kelanjutan program stren tersebut. Mari kita ber-gangnam style, yeah :)
Saya ingin menjawab, bahwa saya ketika melakukan budidaya tanaman selalu mengabaikan aspek hama dan penyakit tanaman. Saya saat ini tidak menggunakan pupuk, pestisida dan hormon untuk tanaman dalam bentuk apapun. saya hanya memotong rerumputan dan dedaunan yang saya letakkan di sekitar tanaman, itu saja. Rerumputan tersebut masih bisa tumbuh kembali. Saya menggunakan benih dari hasil panen sendiri. Mengapa? saya menyerahkan tanaman yang saya tanam sepenuhnya pada siklus alam, bahwa hama ataupun penyakit adalah bagian dari siklus tersebut. Saya biarkan saja ketika tanaman terserang hama maupun penyakit. Toh ternyata tak ada tanaman yang mati, bahkan saya bisa memanennya. Dan cara menanam seperti ini relatif lebih ramah lingkungan, dan yang paling penting rasa panenannya lebih enak, serius.
Memang saya menanam hanya di kebun yang relatif kecil, tapi itu bisa saya panen tiap hari untuk saya konsumsi sendiri meskipun secara fisik tanamannya ora mbejaji. Saat ini harus ditekankan bahwa bentuk fisik tanaman tidak penting, yang penting adalah mampu memenuhi kebutuhan keluarga secara sehat dan aman di segala aspek. Bayangkan jika tiap keluarga di Indonesia bisa menanam sendiri kebutuhan pangannya, pasti masalah lingkungan bisa diatasi, pasti tidak ada yang kelaparan, pasti tersedia makanan sehat, bukankah begichu??
Tapi saya belum berani bilang seperti itu kepada ibu-ibu di Piyungan. Perlu pendekatan yang lebih mendalam terlebih dahulu agar tidak terjadi kesalah pahaman. Karena cara yang saya lakukan tentu saja tidak mainstream. Semoga masih ada waktu untuk berbincang-bincang bersama ibu-ibu di Piyungan. Karena kebetulan saya meminta rekan kerja saya agar saya menghandle kelanjutan program stren tersebut. Mari kita ber-gangnam style, yeah :)
Comments
Post a Comment