Sun Rises

Jika anda pergi ke dataran tinggi Dieng untuk menikmati sunrise, lebih baik menuju ke gardu pandang Tieng. Tidak lebih bagus angle mataharinya tetapi kita bisa belajar satu hal yang sangat penting. Perhatikan baik-baik ketika cahaya telah menerangi pegunungan, lahan petani dan rumah penduduk sekitar. Kalau kita menyadari ada sesuatu yang salah disana, sebagus apapun matahari bersinar rasa was-was mengalahkan kekaguman kita pada ciptaanNya. Kalau kita menyadari hal itu, untuk kesekian kalinya kita akan sadar bahwa manusia adalah mahluk yang paling rakus sedunia. Saking rakusnya bahkan manusia tega mengancam keselamatan sesamanya. Itu kah manusia mahluk yang dianugerahi akal, pikiran dan hati?

Jika kita melihat sunrise dari gardu pandang Tieng, di sisi kiri kita dapat melihat pegunungan atau tepatnya lahan pertanian yang biasa ditanami kentang, tomat, kembang kol ataupun loncang. Katanya lahan itu milik pemerintah daerah, milik dinas kehutanan. Di tengah-tengah, kita dapat melihat pemukiman warga, terlihat kubah masjid yang cukup besar di tengah-tengah pemukiman tersebut. Sementara di sisi kanan, terlihat Gunung Sindoro di balik pegunungan yang juga penuh tanaman kentang. Tak ada pohon berkayu di pegunungan tersebut, semuanya tanaman agribisnis. Akhir tahun lalu beberapa orang tertimbun tanah di lahan karena longsor di sisi kiri tersebut. Untungnya bencana tersebut tidak sampai di pemukiman warga. Silahkan prediksi sendiri masa depan daerah tersebut.

Untuk mengairi pegunungan tersebut petani memakai paralon dan selang dengan ujung yang dipasangi paralon memutar, sehingga air menyebar kemana-mana. Air diambil dari Telaga Warna yang sekarang berkurang drastis debit airnya. Sepanjang hari terdengar suara pompa air yang mengambil air di danau tersebut. Telaga Warna terletak di bawah gardu pandang Tieng juga dibawah pegunungan yang sekaligus ladang kentang tersebut. Berkilo-kilo meter panjang paralon tersebut, berhari-hari air tersebut tak berhenti mengalir, bahkan di lahan yang sudah layu tanamannya. Telaga Warna sudah kehilangan beberapa warnanya saat ini, akibat kegiatan agribisnis tersebut. Silahkan prediksi sendiri juga masa depan Telaga Warna.

Mending mateni wong daripada lahane sing mati” begitu kata seorang kawan dari Wonosobo. Benarkah begitu? Kini saatnya untuk berpikiran optimis “Dieng masih bisa diselamatkan” begitulah slogan orang-orang yang masih peduli dengan kondisi lingkungan di Dieng. Saya juga berpikiran demikian, dengan sedikit upaya yang sangat kecil, dengan menanami pohon di beberapa titik, meskipun hanya berjumalah empat bibit pohon, ketika kemarin berkesempatan jalan-jalan disana. Saya percaya tanah para dewa itu masih memiliki kekuatan untuk kembali “ke asalnya”.

24 September adalah Hari Tani Nasional. Kita tahu setiap tanggal itu masalah reforma agraria selalu dalam pikiran. Petani harus merebut lahannya. Namun bukan berarti seenaknya saja menanam di semua tempat, harus diperhatikan aspek konservasinya. Gambaran di Dieng hanya gambaran kecil ketidakpedulian petani terhadap konsisi lingkungan. Anyway, selamat hari tani nasional, semoga petani semakin sadar lingkungan !

Comments

Post a Comment