Lawuh Uyah

Waktu kecil saya sering makan nasi dengan lauk garam. Itu tak kulakukan di rumah melainkan di rumah tetangga. Sepulang sekolah saya biasa bermain-main di rumah tetangga, saya sering membantu nenek di sebelah rumah membuat keripik singkong. Nenek yang kini telah tiada itu menjual bermacam-macam makanan ringan dari singkong, semisal criping telo (kripik singkong) ataupun angleng. Waktu makan siang tiba, saya sering disuapi nenek makan dengan lauk garam saja, sesekali ditemani kerupuk.

Rumah nenek beralas tanah dan berdinding kayu menghiasi sebagian besar rumahnya. Empat kamar tidur berukuran kecil berdinding tembok tanpa cat, dapur, tempat makan dan ruang tamu menjadi satu yang beralas tanah dan berdinding kayu itu. Jika malam tiba lampu temaram ada di tengah-tengah ruang besar itu, suasananya begitu romantis, begitu hangat keluarganya. Pagi hari salah satu anak nenek sering menyetel lagu-lagu dangdut, tentu bukan dangdut koplo, kala itu belum ada. Ia hobi mengutak atik speaker buatannya sendiri. Di kamarnya bahkan Ia membuat speaker panjang yang membentang dari atap sampai alas kamarnya dan menjadi satu dengan tembok kamarnya, seakan-akan tembok dan speaker menjadi satu. Setelah matahari mulai agak tinggi, nenek ke pasar, pulang ketika dzuhur tiba, nenek selalu pergi ke langgar.

Entah mengapa saya tidak protes menikmati suapan nasi garam itu, saya justru menikmatinya. Di rumah saya selalu mengeluh dengan makanan yang tidak enak. Padahal sesibuk apapun, ibu selalu memasak, bahkan Ia selalu memasak meskipun berangkat ke kantor jam delapan pagi. Selalu berganti-ganti setiap hari dari sayur sop sampai sayur bening, kadang sayur asem ataupun jangan bobor. Padahal saat ini saya begitu menikmati masakn ibu saya sendiri. Dulu saya tak pernah berpikir mengapa saya begitu menikmati makan hanya dengan garam saja. Mengapa saya selalu protes dengan masakan ibu sendiri.

Meskipun saya suka dengan makanan itu, tak pernah saya memintanya ataupun terang-terangan menginginkannya. Saya hanya bermain-main disana dan ketika makan siang tiba saya diajak makan bersama nenek. Ketika pulang kerumah dan ditanya sudah makan atau belum dan saya jawab sudah makan dengan garam, ibu pun tidak marah. Namun tidak bisa setiap hari saya makan di rumah tetangga karena terkadang saya bermain bersama teman-teman.

Ada yang bilang makan hanya dengan lauk garam dianggap simbol kemiskinan. Karena ukuran kesejahteraan adalah nominal uang ataupun harta yang dimiliki oleh setiap keluarga. Di setiap negara juga memakai indikator tersebut, sehingga negara mengintervensi "keterbelakangan" tersebut dengan melakukan pembangunan. Instruksi pemerintah, makanan yang bergizi adalah makanan yang mengandung empat sehat lima sempurna. Setelah memperingati hari pangan minggu lalu, program tersebut kembali digalakkan. Sehingga makan dengan garam saja tidak memenuhi syarat menjadi orang sehat.

Makan tidak sekedar untuk memenuhi nutrisi bagi tubuh tetapi juga mental seseorang setelah makan, apakah Ia bahagia atau tidak. Jika ada orang yang makan makanan bergizi tetapi Ia tidak pernah mensyukurinya dan selalu menyianyiakan makanan maka orang tersebut tidak bermental bahagia. Mungkin Ia akan tetap "sakit" meskipun makan makanan bergizi. Oleh karena itu marilah kita senantiasa mensyukuri nikmat yang telah Tuhan berikan kepada kita, termasuk makan dengan lauk yang sangat sederhana.

Setahu saya nenek tidak pernah sakit parah, dan tidak pernah masuk rumah sakit. Ia meninggal dunia dalam keadaan tertidur. Ia selalu mengajari saya untuk selalu bersyukur. Yang sedang saya cari tahu saat ini adalah cara Ia menjalani kehidupan. Entah bagaimana caranya nenek yang hidup sederhana bisa bertahan hidup tanpa "sakit-sakitan." Mungkin dengan bersyukur....


Comments