Ara adalah anak yang lincah juga disegani oleh teman-temannya, terutama teman-teman lelakinya. "Kenapa ya mas kok cowok-cowok takut sama aku, emangnya aku serem?" begitu ceritanya ketika tahun lalu terakhir bertemu dengannya. Ada yang berbeda darinya setelah lama aku tidak berkunjung ke rumahnya di Piyungan, Ia lebih banyak diam dan membaca buku dari perpustakaan di depan rumahnya. Biasanya kita sering bermain atau sekedar bernyanyi dengan petikan gitarku seadanya. Bahkan kita pernah membuat mars lembaga milik orang tuanya walaupun liriknya hanya terdiri dari tiga bait.
Biasanya anak perempuan seumuran dia bermain masak-masakan, Ia lebih sering bermain egrang, mungkin karena terobsesi oleh ayahnya. Kata dia, ayahnya pernah ikut balap egrang dan menjadi pemimpin perlombaan tetapi sayang terjatuh dan tidak bisa memenanginya. Kata ayahnya sudah dua hari ini Ia memasak sendiri makan siangnya. Bahan-bahannya tinggal petik di ladang belakang rumah. Disana aneka sayuran ditanam ayahnya seperti terong, tomat, bayam, bayam merah, sawi, oyong ditanam di rumah kasa, ada pula pohon pepaya yang hanya dua meter tingginya, orang-orang menyebutnya pepaya kalifornia, dan lahan paling belakang ditanami cabai serta padi. Masih banyak tanaman yang dibudidayakan di belakang rumahnya, hanya saja harus menjadi bulan-bulanan serangga dari lahan tetangganya karena terletak di tengah-tengah lahan petani lain. Wajar saja karena seorang teman yang belajar tentang serangga mengatakan bahwa serangga lebih tahu mana makanan yang lebih enak yakni yang dibudidayakan secara ramah lingkungan, seperti yang dilakukan ayahnya Ara.
Siang ini, masih lengkap dengan seragam putih-merah, tas ransel dan sepatu kets, Ara langsung pergi ke belakang rumah memetik beberapa cabai dan sayuran lainnya. Sesekali Ia bertanya letak sayuran yang akan Ia panen lalu masuk kembali kerumahnya. Ia keluar lagi, kali ini sudah melepas seragam sekolahnya lalu bertanya "Kalau sereh itu yang mana ya mas?" seketika langsung ku tunjukkan tanaman tersebut dan ku congkelkan dua buah batang sereh sampai ke akarnya. Setelah Ia paham bagian mana yang harus dimasak dari sereh tersebut Ia lantas bercerita bahwa Ia akan memasak telor pedas cabai hijau, "Mas mau ya makan masakanku?..." begitulah pintanya. Sebelum aku selesai mempertimbangkan permintaanya, Ia langsung lari masuk ke rumah. Layaknya seorang chef profesional Ia langsung meracik semua bahan-bahan yang telah didapatnya.
Memasak sendiri dengan bahan-bahan yang ditanam sendiri di lingkungan rumah memang lebih terjamin keamanannya. Mana mungkin kita meracuni diri sendiri dengan pestisida dan teman-temannya yang kebetulan juga merusak lingkungan. Dengan menamam sendiri kita bisa tahu asal tanaman yang kita masak lalu setidaknya alam lebih terjaga dengan meninggalkan barang sintetis tersebut, hanya saja tidak gampang untuk melakukan hal itu tanpa tekad yang kuat. Padahal pertanian modern memberikan cara agar kita bisa menanam dimana saja. Bahkan seorang teman menanam beragam sayuran di lantai dua di salah satu gedung kampusnya. Ataupun ide para ilmuan China yang ingin menanam di mars.
Entah buku apa yang Ia baca yang jelas akhir-akhir ini Ia sering bereksperimen di dapur rumahnya. Mungkin Ia membaca buku-buku tentang resep makanan. Disaat orang tua lainnya kesulitan membujuk anaknya untuk mau makan, Ara justru memasak sendiri makan siangnya. Membaca memang bisa merubah sikap seseorang terutama anak-anak yang masih memiliki imajinasi yang luar biasa luas. Kebiasaan membaca sangat bagus jika ditularkan oleh orang tua kepada anaknya. Contoh lain yang dilakukan orang tua kepada anaknya adalah memperkenalkan sayuran, tidak harus memaksa anak-anak untuk memakannya tetapi dengan mengajaknya beraktivitas di lahan-lahan pertanian dan mengajak menanam beragam tanaman. Teman-teman Ara yang datang ke lahannya bahkan pernah mengatakan seperti ini "Aku tidak akan menyisakan makananku lagi karena petani sudah sulit menanam tanaman untuk aku makan..." setelah mereka selesai bermain di lahan pertanian.
Teman-teman Ara lainnya yang ayahnya seorang petani mungkin malu mengakui bahwa ayahnya seorang petani. Atau mungkin petani yang punya seorang anak tidak menginginkan anaknya menjadi seorang petani. Jika keadaanya terus seperti ini mungkin juga suatu saat tidak ada petani di negeri ini karena generasi yang akan datang tidak ada yang mau jadi petani. Semoga tidak terjadi. Sayang sekali aku harus pergi tanpa pamit karena ada janji dengan seorang kawan. Sesungguhnya aku ingin sekali mencicipi masakannya. Mungkin lain kali jika Ia masak lagi.
Biasanya anak perempuan seumuran dia bermain masak-masakan, Ia lebih sering bermain egrang, mungkin karena terobsesi oleh ayahnya. Kata dia, ayahnya pernah ikut balap egrang dan menjadi pemimpin perlombaan tetapi sayang terjatuh dan tidak bisa memenanginya. Kata ayahnya sudah dua hari ini Ia memasak sendiri makan siangnya. Bahan-bahannya tinggal petik di ladang belakang rumah. Disana aneka sayuran ditanam ayahnya seperti terong, tomat, bayam, bayam merah, sawi, oyong ditanam di rumah kasa, ada pula pohon pepaya yang hanya dua meter tingginya, orang-orang menyebutnya pepaya kalifornia, dan lahan paling belakang ditanami cabai serta padi. Masih banyak tanaman yang dibudidayakan di belakang rumahnya, hanya saja harus menjadi bulan-bulanan serangga dari lahan tetangganya karena terletak di tengah-tengah lahan petani lain. Wajar saja karena seorang teman yang belajar tentang serangga mengatakan bahwa serangga lebih tahu mana makanan yang lebih enak yakni yang dibudidayakan secara ramah lingkungan, seperti yang dilakukan ayahnya Ara.
Siang ini, masih lengkap dengan seragam putih-merah, tas ransel dan sepatu kets, Ara langsung pergi ke belakang rumah memetik beberapa cabai dan sayuran lainnya. Sesekali Ia bertanya letak sayuran yang akan Ia panen lalu masuk kembali kerumahnya. Ia keluar lagi, kali ini sudah melepas seragam sekolahnya lalu bertanya "Kalau sereh itu yang mana ya mas?" seketika langsung ku tunjukkan tanaman tersebut dan ku congkelkan dua buah batang sereh sampai ke akarnya. Setelah Ia paham bagian mana yang harus dimasak dari sereh tersebut Ia lantas bercerita bahwa Ia akan memasak telor pedas cabai hijau, "Mas mau ya makan masakanku?..." begitulah pintanya. Sebelum aku selesai mempertimbangkan permintaanya, Ia langsung lari masuk ke rumah. Layaknya seorang chef profesional Ia langsung meracik semua bahan-bahan yang telah didapatnya.
Memasak sendiri dengan bahan-bahan yang ditanam sendiri di lingkungan rumah memang lebih terjamin keamanannya. Mana mungkin kita meracuni diri sendiri dengan pestisida dan teman-temannya yang kebetulan juga merusak lingkungan. Dengan menamam sendiri kita bisa tahu asal tanaman yang kita masak lalu setidaknya alam lebih terjaga dengan meninggalkan barang sintetis tersebut, hanya saja tidak gampang untuk melakukan hal itu tanpa tekad yang kuat. Padahal pertanian modern memberikan cara agar kita bisa menanam dimana saja. Bahkan seorang teman menanam beragam sayuran di lantai dua di salah satu gedung kampusnya. Ataupun ide para ilmuan China yang ingin menanam di mars.
Entah buku apa yang Ia baca yang jelas akhir-akhir ini Ia sering bereksperimen di dapur rumahnya. Mungkin Ia membaca buku-buku tentang resep makanan. Disaat orang tua lainnya kesulitan membujuk anaknya untuk mau makan, Ara justru memasak sendiri makan siangnya. Membaca memang bisa merubah sikap seseorang terutama anak-anak yang masih memiliki imajinasi yang luar biasa luas. Kebiasaan membaca sangat bagus jika ditularkan oleh orang tua kepada anaknya. Contoh lain yang dilakukan orang tua kepada anaknya adalah memperkenalkan sayuran, tidak harus memaksa anak-anak untuk memakannya tetapi dengan mengajaknya beraktivitas di lahan-lahan pertanian dan mengajak menanam beragam tanaman. Teman-teman Ara yang datang ke lahannya bahkan pernah mengatakan seperti ini "Aku tidak akan menyisakan makananku lagi karena petani sudah sulit menanam tanaman untuk aku makan..." setelah mereka selesai bermain di lahan pertanian.
Teman-teman Ara lainnya yang ayahnya seorang petani mungkin malu mengakui bahwa ayahnya seorang petani. Atau mungkin petani yang punya seorang anak tidak menginginkan anaknya menjadi seorang petani. Jika keadaanya terus seperti ini mungkin juga suatu saat tidak ada petani di negeri ini karena generasi yang akan datang tidak ada yang mau jadi petani. Semoga tidak terjadi. Sayang sekali aku harus pergi tanpa pamit karena ada janji dengan seorang kawan. Sesungguhnya aku ingin sekali mencicipi masakannya. Mungkin lain kali jika Ia masak lagi.
nak ameh nyicip aku diajak yo dab :D
ReplyDeletepadune mung golek gratisan, dasar cah kos !
Delete