Kekhawatiranku akan
masa depan pertanian yang semakin tidak dipedulikan oleh generasi
saat ini sedikit terbukti. Saya khawatir jangan-jangan beberapa puluh
tahun kedepan negara ini tidak ada yang mau menjadi petani. Padahal
jika tidak ada petani bisa jadi tidak ada kehidupan, logikanya
seperti yang pernah diutarakan oleh adik-adik angkatan saya yakni No
farmer no food, no food no life. Apa
jadinya negara agraris tanpa petani?
Sedikit bukti itu
saya dapatkan ketika pagi tadi saya bertanya di kelas empat SD pada
salah satu sekolah di Piyungan, “Siapa yang orang tuanya bekerja
sebagai petani?” tanyaku, dengan ragu-ragu anak laki-laki yang
duduk paling depan mengangkat tangan sambil melihat kanan-kirinya
lalu cepat-cepat menurunkan tangannya kembali. “Beneran cuma kamu
saja?” tanyaku kembali, saya hampir tidak percaya karena Piyungan
salah satu wilayah di Bantul yang memiliki jumlah petani dengan
jumlah banyak. Lalu dua orang anak perempuan di meja belakang
mengangkat tangannya. Saya masih tidak percaya, kemudian saya
bertanya-tanya di dalam hati, Apakah tidak banyak petani yang
menyekolahkan anaknya? Apakah anak petani malu mengakui bahwa orang
tuanya berkerja di sawah? Ataukah memang benar hanya tiga anak petani
yang ada di kelas itu sisanya di kelas lain?
Saya tidak mau
berspekulasi dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut, itu hanyalah
sebuah dugaan belaka. Tapi saya kembali membayangkan jika beberapa
tahun yang akan datang tidak ada petani. Keadaan tersebut memang
memiliki kelebihan dan kelemahan, kelebihannya jika jumlah petani
turun dan jumlah penduduk sedikit maka kondisi alam akan lebih
terjaga. Seperti yang telah kita ketahui bagaimanapun juga pertanian
adalah modifikasi alam yang tidak selalu ramah lingkungan, saat ini
pertanian justru lebih banyak menyebabkan kerusakan lingkungan.
Pertanian tidak hanya dibutuhkan oleh petani tetapi juga penduduk
lainnya karena kita semua butuh pangan dan pertanian adalah penghasil
pangan. Sementara kelemahannya jika jumlah petani turun dan penduduk
semakin banyak maka bisa-bisa kita kekurangan pangan. Tidak ada
petani yang menyediakan pangan, jalan yang ditempuh pemerintah
biasanya adalah mendatangkan pangan dari negara lain. Lalu untuk apa
label negara yang “Gemah ripah loh jinawi” ?
Siswa SD yang segan
mengacungkan tangannya tersebut bisa jadi menunjukkan bahwa petani
bukanlah seseorang yang memiliki “sesuatu” di mata mereka. Saat
ini siapa yang bangga jadi petani? Yang berani menjawab “bangga”
jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Sedangkan orang yang menjadi
petani saat ini didominasi oleh orang-orang yang sudah berumur juga
tidak mengenyam pendidikan tinggi. Hal ini bisa dibuktikan dengan
bertanya pada mahasiswa pertanian yang melakukan penelitian tentang
sosial ekonomi pertanian dengan wawancara langsung pada petani. Agar
petani tetap ada di negara ini, generasi tersebut harus diganti
dengan generasi selanjutnya mengingat umur manusia yang tidak panjang
serta kemampuan fisik yang tidak selalu prima. Namun masalahnya
apakah generasi berikutnya mau menjadi petani? Apakah petani juga
berharap anaknya menjadi petani meneruskan tradisinya? Yang jelas
saat ini image
petani sudah terlanjur miskin, kotor dan ndeso.
Jika petani
didominasi oleh orang yang sudah berumur bisa jadi siswa SD tersebut
adalah bagian dari generasi terakhir petani saat ini. Karena anak
petani yang “berumur” tersebut mungkin sudah lebih tua dari anak
SD sehingga tidak sekolah di SD. Dan jika benar petani tidak
menginginkan anaknya menjadi petani bisa jadi di masa yang akan
datang negara ini kekurangan petani. Kondisi tersebut diperparah
dengan pertambahan penduduk yang tak terkendali sehingga memunculkan
beberapa prediksi. Pertama,untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk
pertanian digenjot secara intensif menggunakan bahan sintetis
sehingga menghasilkan pangan yang tidak sehat dan juga menyebabkan
kerusakan lingkungan. Pangan yang tidak sehat juga menyebabkan
penurunan kualitas generasi harapan masa depan. Kedua, negara ini
terus diberi label ironis karena mendatangkan pangan dari negara lain
padahal kaya akan sumber pangan. Dan terakhir bisa terjadi kelaparan
di negara ini.
Saya menyadari
bahwa saya juga bagian dari generasi harapan masa depan. Melihat
keadaan seperti diatas, saya dan beberapa teman melakukan eksperimen
terhadap siswa-siswa di salah satu SD di Piyungan yang bertujuan
untuk mengatasi permasalahan tersebut. Bukan berarti mengajak siswa
SD tersebut menjadi petani tetapi mengajak kita semua agar bisa
memenuhi kebutuhan pangan sendiri serta mampu “berdiri dengan kaki
kita sendiri”. Kegiatan tersebut dikemas dengan menarik tetapi
tidak meninggalkan kegiatan belajar mereka di kelas. Selama februari
ini kita akan bermain dengan anak-anak SD disana dan sedikit banyak
menyisipkan gagasan untuk mengatasi masalah tersebut. Semoga ini
menjadi langkah awal untuk perubahan yang lebih baik.
Di akhir pertemuan
dengan anak-anak SD hari ini, saya mencoba menghilangkan rasa tidak
percaya tersebut lalu mengajak mereka untuk memberikan tepuk tangan
kepada anak-anak yang orang tuanya bekerja sebagai petani. Mereka
masih belum paham mengapa harus diberikan tepuk tangan, lalu saya
jelaskan “Selain guru ada juga pahlawan tanpa tanda jasa yakni
petani, mereka menghasilkan pangan untuk kita semua, coba bayangkan
jika tidak ada petani kita mau makan apa…?” Kemudian mereka
memberikan tepuk tangan lagi, kali ini lebih kencang suaranya.
:')
ReplyDelete