Titik Equilibrium

Mumpung saya masih terikat dengan kampus, ijinkan saya menulis tentang mahasiswa pertanian. Dimana pada kampus tersebut saya mengalami proses berlajar yang luar biasa. Dimana mahasiswa didalam kampus itu sesungguhnya memiliki peran yang begitu mulia bagi negerinya. Dimana itu semua dianggap hanyalah angan-angan belaka. Dan dimana dalam waktu dekat ini saya akan segera meninggalkannya.

“…mumpung masih jadi mahasiswa manfaatkan status mas…” begitulah ungkap Pak Kardi seorang kepala sekolah di salah satu Sekolah Dasar di Piyungan. Ketika itu, saya memohon ijin untuk melakukan penyuluhan tentang pemenuhan kebutuhan pangan secara mandiri di tingkat keluarga bertepatan dengan naiknya harga bawang, dan akan dilaksanakan beberapa hari kedepan. Pak Kardi menganggap ketika kita sudah lepas dari status mahasiswa, seseorang akan kesulitan merealisasikan segala ideologi mulianya pada masyarakat. Karena ketika kita telah memasuki “dunia nyata” banyak hal yang akan mereduksi ideologi tersebut. Katakanlah ketika kita bekerja dengan sebuah NGO yang mendapatkan founding dari pihak lain, maka mau tidak mau ideologi tersebut harus direduksi oleh keinginan founding. Kalau tidak demikian, uang tidak akan mengalir sederas jeram di kali progo. Tidak ada uang tidak ada kegiatan bung !

Saya memahami apa yang diungkapkan pak kepala sekolah tersebut karena saya telah memanfaatkan status tersebut berulang kali. Salah satunya ketika saya dan beberapa rekan mengajak petani pada sebuah dusun di lahan gersang Gunungkidul untuk menanam sayuran kebutuhan dapurnya secara ramah lingkungan. Saya sama sekali tidak membawa lembaga manapun, saya cukup bilang “kami hanyalah mahasiswa pertanian yang ingin mengabdi di masyarakat….”. Warga sangat memahami keinginan saya tersebut, image mahasiswa di mata mereka memang begitulah seharusnya. Maka dengan mudah kami melakukan semacam pemberdayaan masyarakat hanya dengan bermodal bensin menuju dusun tersebut. Alhasil dengan tekad yang kuat yang dimiliki oleh beberapa petani, sayuran dapat tumbuh di lahan gersang tersebut. Itulah mengapa sesungguhnya mahasiswa disebut memiliki tugas mulia sebagai agent of change.

Beberapa hari sebelum saya bertemu Pak Kardi, saya diberi kesempatan untuk sharing pengalaman dengan adik-adik angkatan tentang pengalaman saya sewaktu menjadi pengurus di himpunan mahasiswa jurusan. Tahun lalu saya berada di acara yang sama dan berbicara “ngalor-ngidul” tentang bagaimana peran mahasiswa pertanian seharusnya. Saya bersyukur karena masih ada yang ingat apa yan saya lakukan tahun kemarin, saya melontarkan pertanyaan konyol pada mereka “..siapa diantara kalian yang ingin jadi petani..?”. Sambil sedikit mengenang masa lalu saya tersadar karena kali ini teman seangkatan saya yang memberikan khotbah saktinya. Intinya kita satu kata bahwa mahasiswa sekarang sudah berubah. Peran sebagai agent of change sudah nampak sirna meskipun saya percaya masih ada beberapa adik angkatan yang melakukannya. Khotbah ini bukan berarti untuk menunjukkan kita paling benar tetapi hanya sekedar mengingatkan atas kuasa mahasiswa yang memiliki tugas mulia.

Ketika setiap orang menyaksikan kekalahan Timnas dari tim Singa Padang Pasir, dan setiap orang meyalakan lilin untuk menghemat energi muncul satu pertanyaan dari sekian banyak wajah baru yang tak satu pun saya kenali. Seorang mahasiswa melontarkan pertanyaan “…apa makna lambang itu..?” sambil menunjuk lambang himpunan mahasiswa jurusan kami. Setelah dua mantan pengurus menjawabnya saya diberikan kesempatan untuk mejelaskannya lagi. Lambang tersebut terlihat sederhana dengan hanya dihiasi warna merah pada garis yang membentuk sebuah kurva dan dilingkari oleh semacam kelopak bunga. Kita semua tahu, pasti pembuatnya adalah mahasiswa yang belajar ekonomi pertanian. Satu kata yang sering disebut dua mantan pengurus tadi adalah titik equilibrium. Karena memang pada kurva tersebut terdapat titik equilibrium yakni sebuah titik perpotongan antara supply dan demand, keduanya bertemu pada titik yang sama membentuk sebuah keseimbangan. Seorang mahasiswa lainnya yang juga tak saya kenali memberikan perbandingan dengan menggambarkan ketika harga bawang naik, hal itu terjadi karena tidak ditemukannya keseimbangan tersebut. Dalam kasus ini supply dan demand terpisah jauh bagaikan seorang lelaki yang mengharapkan cinta wanita pujaanya namun terpisah ruang dan waktu, keduanya hanya bertemu dalam bayang-bayang semu. Bagaikan kisah cinta matahari dan bulan yang sama-sama menerangi bumi namun tak pernah saling bertemu untuk bercumbu dan berpeluk mesra.

Harga bawang tersebut bagaikan kondisi masyarakat dalam mengakses bangku perguruan tinggi. Tidak semua lapisan masyarakat mampu mengenyam bangku perguruan tinggi, hanya yang berduit saja yang mampu melakukannya, artinya tidak terjadi keseimbangan di masyarakat. Tidak semua petani dan anak petani mampu kuliah di Fakultas Pertanian. Dan tidak semua yang kuliah bisa membagikan ilmunya di masyarakat untuk mencapai keseimbangan tersebut.

Dulu saya pernah berdiskusi dengan pembuat lambang tersebut, sepemahaman saya lambang itu mendasari berdirinya organisasi mahasiswa jurusan tersebut. Bahwa pada saat itu mahasiswa pertanian perlu sebuah wadah untuk menyeimbangkan kondisi masyarakat. Bukan berarti setiap masyarakat harus merasakan kuliah, tetapi dengan berbagi ilmu yang didapatkan di perguruan tinggi kepada masyarakat yang tidak merasakannya. Mahasiswa pertanian harus membagikan ilmunya kepada masyarakat (khususnya petani) agar keseimbangan tersebut dapat tercapai. Maka organisasi tersebut memobilisasi gerakan mahasiswa pertanian yang bertujuan melakukan bhakti pada petani. Begitulah kira-kira panjang kali lebar saya jelaskan makna lambang tersebut.

Memang sangat utopis mengharapkan titik equilibrium dapat tercapai, namun setidaknya jika hal ini dijadikan sebuah tantangan bukan mustahil titik tersebut bisa didekati. Jika setiap mahasiswa pertanian memegang satu dusun untuk mendukung aktivitas petaninya bukan tidak mungkin keseimbangan tersebut dapat tercapai. Hanya saja ilmu yang dibagikan pada petani harus yang relevan dengan konsep kemandirian petani. Karena menurut saya Fakultas Pertanian on a wrong direction, mereka membuat benih hibrida yang menyaratkan pupuk kimia dan pestisida yang harus dibeli petani. Ada yang menyarankan pertanian organik, wacana lingkungan mulai digulirkan namun mereka tidak mengajari petani untuk membuat sendiri input pada lahanya, justru input tersebut di-bisniskan dan petani lagi-lagi harus membelinya dengan dasar ramah lingkungan. Ada yang membuat konsep perekonomian bagi petani tapi tidak sama sekalii menguntungkan petani. Maka kita harus jeli ilmu mana yang akan dibagikan kepada petani, jangan sampai salah langkah. Demi mencapai sebuah keseimbangan yang bermartabat.

Mendapat status sebagai mahasiswa wajib kita syukuri dengan cara membagikan apa yang kita peroleh di bangku kuiah ke masyarakat. Bukan malah mentang-mentang menjadi kaum yang berpendidikan lalu mementikan diri sendiri, terjerat dalam arus hedonisme. Secara sadar tulisan ini dibuat ketika saya belum mengambil ijazah sarjana pertanian meskipun saya telah dinyatakan lulus. Tulisan ini suatu saat akan mengingatkan saya untuk terus mengabdi di masyarakat. Karena kata seorang rekan hidup adalah benturan antara ideologi dan realitas, artinya saya tidak tahu apa yang terjadi setelah status mahasiswa saya hilang. Namun suatu saat nanti ketika saya bukan lagi mahasiswa saya akan berkata di masyarakat “…saya hanyalah seorang sarjana pertanian yang ingin mengabdi di masyarakat…”

Comments

  1. terimakasih atas penerangannya, luar biasa.. selamat mengabdi seorang sarjana yang akan menggebrak sarjana lain untuk mengabdi pada bangsanya :)

    gm

    ReplyDelete

Post a Comment