Menu Makan

Ditengah dinginnya malam pegunungan dan senandung rintik hujan, di salah satu posko relawan sedang dibahas menu makan harian untuk menunjang aktivitas para relawan setiap hari. Longsor di Cigintung, Majalengka mengundang banyak relawan dari berbagai lembaga untuk menolong korban bencana tersebut. Asupan makanan relawan menjadi salah satu hal yang wajib diperhatikan agar kondisi mereka tetap terjaga. Bagi sebagian relawan memilih menu makan begitu penting karena tidak semua jenis makanan mereka sukai ataupun ada beberapa makanan yang membuat mereka alergi. Tetapi bagi sebagian yang lain tidak terlalu penting karena bagi mereka yang terpenting adalah mengabdi pada masyarakat bukan memilih menu makanan. Bagi mereka tak perlu ambil pusing tentang menu makanan yang sangat sederhana, yang penting makanan tersebut sehat dan layak dimakan. Maka terjadi sedikit perdebatan diantara mereka hanya tentang pemilihan menu makanan. Malam yang dingin menjadi sedikit memanas karena perdebatan tersebut.

Saya terlibat dalam forum itu, dan saya juga tidak terlalu ambil pusing dengan perdebatan tersebut. Bagi saya yang terpenting bagaimana caranya para pengungsi bencana longsor tersebut bisa ditolong. Jadi hal sepele semacam itu tidak perlu dipermasalahkan. Namun saya melihat satu hal yang menarik dari menu makan harian para relawan. Menu makan tersebut mungkin dapat menggambarkan bagaimana bencana longsor di Cigintung bisa terjadi.

Sudah dua minggu saya bermasyarakat di Cimuncang, tempat pengungsian korban longsor Cigintung. Saya tinggal di salah satu rumah warga. Kebutuhan makanan disediakan oleh pemilik rumah, setiap hari ibu pemilik rumah memasak untuk relawan. Saya makan makanan yang sederhana meskipun demikian tidak mempengaruhi kegiatan saya sehari-hari sebagai relawan. Tidak banyak ragam sayuran yang disajikan di meja makan. Sambal tomat selalu tersaji di meja makan dilengkapi dengan lauk berupa tempe, tahu, telor terkadang ayam goreng. Mentimun juga selalu tersaji disana sebagai lalapan apapun makanannya, terkadang ada buncis mentah menemaninya. Menu ini mirip seperti yang disajikan di warung penyetan di Jogja. Sementara sayur sop yang berisi irisan wortel, buncis dan kentang dan juga tumis kangkung menjadi selingan menu makanan sehari-hari.

Setiap makanan yang disajikan terasa asin namun bukan suatu masalah bagi saya karena memang begitulah karakter masakan di Cimuncang dan saya menyadari dari masa saya berasal. Hanya saja saya penasaran dari mana datangnya sayuran yang ada di meja makan setiap hari. Lahan-lahan di Cimuncang dan sekitarnya sama sekali tidak ditanamai sayur-mayur. Uniknya dataran tinggi seperti di Cimuncang dengan ketinggian lebih dari 1000 mdpl lahan-lahan pertanian dihiasi dengan tanaman padi. Memang saya belum pernah memperhatikan secara detil apakah dataran tinggi berhawa dingin di Majalengka dan sekitarnya selalu ditanami sayur-mayur. Jika di Jawa Tengah dan sekitranya lahan-lahan tersebut selalu ditanami sayur-mayur. Seperti misalnya di lereng Merapi, Merbabu, Tawangmangu, dan Dieng. Sehingga dengan mudah masyarakat disana mendapatkan sayuran setiap hari meskipun terkadang petani yang membudidayakan sayuran tersebut harus membeli dari orang lain. Aktivitas tersebut selalu menyebabkan tanah longsor dan banjir bahkan kekeringan karena lahan-lahan pertanian selalu menggantikan lahan konservasi di berbagai dataran tinggi tersebut.

Bahan makanan yang menjadi menu makanan setiap  hari di Cimuncang dapat kita telusuri untuk mengetahui apakah aktivitas pertanian menjadi penyebab terjadinya bencana longsor di Cigintung. Mentimun dan buncis dibudidayakan petani di tanah tegalan dengan luas yang relatif sempit rata-rata sekitar 200 m2, biasanya juga dibudidayakan di pekarangan rumah. Tomat, wortel dan kangkung kemungkinan besar datang dari luar daerah karena di lahan-lahan pertanian disana tidak ditemui tanaman tersebut. Kentang berasal dari dataran tinggi Dieng dimana budidaya kentang tersebut menjadi penyebab banjir dan longsor beberapa waktu lalu. Sayuran bumbu seperti bawang, bawang merah dan lainnya juga datang dari luar daerah.

Nasi yang tersaji di meja makan berasal dari sawah-sawah warga di Desa Cimuncang yang saat ini rusak karena logsor. Ada dua dusun yang terkena longsor yakni Dusun Cigintung dan sebagian Ciranca. Pemukiman warga Cigintung berada di bawah areal persawahan dimana kemungkinan besar sebelumnya ditumbuhi oleh pohon-pohon besar berkayu. Dari jauh bukit di Cigintung terlihat seperti tumpeng yang memiliki tiga warna. Sisa-sisa hutan masih terlihat diatas persawahan dengan warna hijau mendominasi bagian atas bukit, jika diperhatikan lebih detil warna hijau tersebut adalah rerumputan dan sedikit pohon-pohon keras. Dibawahnya berwarna cokelat kehijauan dengan pola-pola yang lebih teratur dan aliran air mengalir sepanjang hari. Disanalah para petani membuat ekosistem buatan berupa sawah dan beberapa balong (kolam). Air yang melimpah menjadi alasan petani lebih memilih memilih menanam padi daripada sayuran selain karena memang tanaman padi lebih mudah dalam hal perawatan. Tanpa disadari bagian bawah bukit adalah pemukiman warga yang saat ini tidak bisa dihuni, rumah-rumah reyot, lantai rumah retak naik-turun, sekilas terlihat masih berdiri namun tembok-tembok tak lagi tegak. Kerusakan rumah di Cigintung lebih mirip seperti ditimpa gempa bumi daripada longsor.

Longsor di Cigintung adalah fenomena yang unik karena pergerakan tanah tidak diatas permukaan melainkan terjadi didalamnya. Setiap waktu tanah bergerak seperti saling bertabrakan, ada yang naik ada pula yang amblas. Salah satu jembatan yang menuju Ciranca nyaris berdiri seperti tembok akibat pergerakan tanah tersebut. Bagaimana hal itu bisa terjadi? Ada yang mengatakan kejadian itu karena pergerakan lempeng bumi namun uniknya hanya di satu dusun pergerakan tanah tersebut terjadi, cakupan wilayah yang relatif kecil. Sementara di beberapa lapisan tanah yang terangkat terdapat endapan tanah berwarna abu-abu tua yang sedikit berbau belerang. Entah apa yang terjadi.belum ada yang memberikan pernyataan pasti tentang penyebab kejadian tersebut.

Jika boleh berspekulasi, mungkin pergerakan tanah tersebut akibat kegiatan pertanian di daerah tersebut. Sawah-sawah warga telah menggantikan peran tanaman keras sebagai penyimpan air. Genangan air di sawah sepanjang waktu menyebabkan tanah tidak sanggup lagi menyimpannya, apalagi jenis tanah disana adalah tanah liat yang susah mengalirkan air didalam permukaan tanah. Kondisi tersebut diperparah dengan penggunaan urea secara besar-besaran sehingga tanah permukaan menjadi keras. Oleh karena itu tanah yang berada didalam permukaan menjadi bergerak mengikuti aliran air dibawah permukaan tanah. Hal ini berbeda dengan lahan yang ditanami sayuran yang tidak digenangi air, jika terjadi longsor tanah bergerak di permukaan tanah. Gerakan air dibawah permukaan tanah tidak lancar seperti diatas permukaan tanah, oleh karena itu tanah bergerak tidak secara kontinyu dan dipengaruhi oleh pergerakan air didalamnya.

Tanpa saya sadari nasi yang saya makan berasal dari persawahan tersebut yang mungkin menjadi penyebab longsor di Cigintung. Nasi tersebut masuk ke dalam menu makan saya sehari-hari. Dimana menu makan tersebut adalah sebuah produk yang bernama pertanian. Demikianlah pertanian bisa menjadi seperti pisau bermata dua, disatu sisi menguntungkan disisi lain membahayakan. Maka secara bijak seharusnya petani “tahu” sisi pisau mana yang harus dipakai. Masyarakat juga tidak seharusnya “memaksa” petani menggunakan sisi pisau yang membahayakan. Karena sesungguhnya konsumen pangan sangat mempengaruhi cara bertani petani, semakin tinggi permintaan pangan semakin intensif lahan-lahan konservasi dialihfungsikan. Itulah menu makan saya bagaimana dengan anda?

Comments