“Seni itu
fleksibel bisa masuk kemana saja…”, kata seorang rekan tetangga desa yang baru
ku kenal. Setelah saya pikir-pikir ternyata pertanian juga salah satu bentuk
kesenian. Seni mengolah alam untuk kita ambil manfaatnya agar kita bisa bertahan
hidup. Oleh karenanya kita bisa sangat bebas berekspresi di ladang untuk kita “lukis”
ataupun kita atur “nada”-nya agar tercipta sebuah harmoni. Hanya saja seni di
alam haruslah mengikuti ritme yang telah terbentuk agar tidak “fals”, kita
hanya tinggal menambahkan sedikit “melodi” saja.
Sebuah tumbuhan
memiliki ritme yang sangat khas, berbeda dengan mahluk lainnya. Ia tidak bisa
berjalan. Ia mampu menerjemahkan sengatan mentari menjadi sebuah kehangatan
bagi mahluk lainnya dengan menjamin isi perut mereka. Ia menyimpankan air di
dalam tanah agar mahluk lainnya tak berdahaga, membersihkan udara agar mahluk lainnya bisa leluasa bernafas. Ia justru memakan kotoran dan
sisa-sisa kehidupan dari mahluk lainnya. Namun Ia sangat konsisten memberikan
makanan kepada mahluk lainnya, ini jauh diatas tingkat keikhlasan mahluk
lainnya. Itulah sebuah ritme yang sangat mulia dari sebuah tumbuhan.
Pada
dasarnya seni adalah sebuah ritme yang diberi “sentuhan” tanpa merubah ritme
tersebut. Sementara tujuan seni untuk menciptakan sebuah keindahan.
Mejikuhibiniu yang muncul di langit adalah sentuhan pada langit yang telah diritmekan oleh awan. Maka muncul sebuah
keindahan di langit yang disebut pelangi, itulah seni. Sebelum muncul
pertanian, alam telah memberi sentuhannya sendiri pada dirinya. Tumbuhan selain
sebuah produk seni yang memiliki ritmenya sendiri, Ia juga sebuah sebuah ritme
di alam. Mahluk lainnya juga sebuah ritme di alam. Angin, air, api, bebatun dan
yang lainnya juga sebuah ritme di alam.
Ritme
tumbuhan terkait dengan kehidupan mahluk lainnya, begitu pula sebaliknya. Tumbuhan
selalu memberi makan herbivor. Karnivor selalu memakan herbivor. Dekomposter
selalu membusukkan tumbuhan, herbivor dan karnivor serta kotorannya. Tumbuhan
selalu memakan hasil pembusukan dekomposter. Air selalu mengalir ke tempat yang
lebih rendah. Angin selalu bertiup ke tekanan udara yang lebih rendah. Bebatuan
selalu tertarik pada gravitasi, dan lain sebagainya. Seluruh ritme-ritme yang
ada saling menyentuh sehingga tercipta karya seni. Uniknya, karya seni yang
dibentuk oleh alam tercipta karena ritme-ritme yang ada saling bersinggungan,
saling membutuhkan, saling ketergantungan.
Manusia
pada awalnya juga “bagian” dari ritme-ritme tersebut, mungkin Ia herbivor,
mungkin pula Ia karnivor. Hingga pada akhirnya Ia bisa membaca ritme alam. Ia
tahu bahwa benih yang jatuh terbawa angin kelak menjadi tumbuhan baru. Kemudian
Ia mengubah tumbuhan menjadi tanaman dengan mengambil benih-benih tersebut. Ia
mendomestikasikan tumbuhan yang ada di hutan ke wilayah tempat tinggalnya. Ia
perlahan meninggalkan kebiasaannya berburu makanan. Lalu muncullah pertanian,
sebuah peradaban bagi manusia.
Pertanian
adalah sebuah teater (karya seni) dimana manusia adalah sutradara sekaligus
penulis skenarionya. Tanaman menjadi aktor utama dalam film tersebut. Alur
ceritanya selalu menanam benih, menumbuhkan dan merawatnya, lalu memanennya
(ritme). Didalam skenarionya, aktor utama diunggulkan sehingga pemeran yang
lain (herbivor, karnivor, angin, dll) dikalahkan. Tanaman adalah tokoh
protagonis sementara pemeran lainnya antagonis. Herbivor adalah pemeran
antagonis yang menjadi momok bagi tanaman (menurut sutradara), hingga Ia
mendapat julukan hama. Sentuhan manusia pada tanaman dalam mengusir hama,
memupuk tanaman ataupun mengatur masa tanam menjadikan pertanian sebuah karya
seni.
Bertambahnya
jumlah manusia menjadi permasalahan tersendiri dalam hal penyediaan pangan. Skenario
lama dirasa tak bisa mengatasi permasalahan ini. Muncullah skenario baru, dimana
para pemeran antagonis akan dimusnahkan dari panggung teater, agar menghasilkan
banyak panagn. Sang sutradara memanfaatkan keluwesan seni bercocok tanam ini
pada ranah ilmu pengetahuan. Disana diperoleh pestisida, pupuk sintetis dan benih
hibrida yang mendukung pemusnahan tokoh antagonis.
Itulah seni,
bisa masuk kemana saja, termasuk pertanian. Kini pertanian masuk ranah
akademis, seni yang dipelajari secara ilmiah menghasilkan produk-produk
pemusnah seperti diatas. Masuk ke ranah bisnis pula karena setiap orang tidak
sanggup menjadi sutradara alam. Orang yang tak sanggup berkesenian di alam
tinggal membayar untuk mengenyangkan perutnya. Masuk ke ranah birokrasi
sehingga pemerintah bisa mengintervensi cara mengolah alam para senimannya.
Sang sutradara
mungkin lupa bahwa sesungguhnya tokoh antagonis tidak bisa berakting. Mereka hanya
mampu berperan di alam yang sesungguhnya. Jika mereka dimusnahkan yang terjadi
justru menghilangkan ritme yang ada di alam. Sehingga keindahan alam akan
berkurang. Seni itu akan hilang. Karena seni adalah ritme yang diberi sentuhan
tanpa merubah ritme itu sendiri.
Comments
Post a Comment