Aku sangat
lelah dan butuh tidur. Entah kenapa saat ini setaminaku semakin menurun.
Mungkin karena setiap malam aku harus menyeduh kopi. Tapi aku memiliki
tanggungjawab untuk mengasuh anak-anak. Karena itulah tubuhku tetap tegar untuk
menemui mereka. Waktu sudah berjalan menuju ashar, aku sudah sangat telat untuk
bertemu mereka.
Seperti
biasanya, saat aku tiba di lokasi bermain para krucil langsung nyamper di
tubuhku. Ada yang memeluk tubuhku, ada yang naik di punggungku, ada yang
menarik tanganku, dan semuanya berbicara kepadaku. Aku selalu bingung harus
jawab yang mana dulu. Selain aku tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka,
kali ini mereka kecewa karena aku datang terlambat, bahkan waktu bermainnya
telah habis.
Dalam
beberapa minggu terakhir ini dan termasuk minggu ini aku telah menelantarkan
mereka. Apa boleh buat, setiap minggu selalu saja ada undangan pernikahan dari
teman-teman dekat. Dalam beberapa upacara pernikahan aku juga harus
bertanggungjawab atas bagian hiburannya. Hahaha mereka baru menikah, aku malah
sudah punya banyak anak. Memang mereka bukan anak kandungku tetapi aku sudah
merasa memilikinya. Aku senang sekali bermain dengan mereka, siapa lagi yang
akan meneruskan perjuanganku kalau bukan anak-anak? Seorang istri belum tentu
punya perjuangan yang sama denganku. Lagian orang dewasa sangat sulit didoktrin
sesuai dengan keinginan kita. Aku ingin saat anak-anak tumbuh dewasa kelak bisa
mandiri dan mau berbagi.
Alhasil aku
hanya bercengkrama dan gojek dengan beberapa anak saja setelah waktu bermainnya habis. Mamat salah satunya.
Seminggu yang lalu Ia sms aku "Maskokkemarentidakdatang”
kata-katanya tanpa spasi tapi masih bisa kupahami. Aku janji sama mereka untuk
menyelesaikan pembuatan minyak goreng dari kelapa tetapi tak kupenuhi janji itu.
Iya kelapa bukan kelapa sawit.
Karena kelapa sawit adalah penyebab kabut asap yang telah menyengsarakan banyak
orang. Mamat lah yang paling antusias membuat minyak goreng kelapa itu setelah
kami mencari tahu penyebab kabut asap tersebut.
Saat itu orang
yang melihat kami di pinggir kali Code membakar sampah dan menghirupnya pasti
mengira aku sedang mengajari anak-anak pada hal yang tidak benar. Padahal waktu
itu aku cuma ingin mengajak anak-anak menghayati betapa susahnya hidup dengan
kabut asap. Mereka mengumpulkan sampah sambil berjalan menuju tempat bermain,
yakni di pinggir kali Code yang kemudian dibakar. Mamat pun bertanya "kok
hutan bisa kebakaran ya mas? Bakar sampah segini aja sudah nggak enak rasanya,
bikin sesak nafas.." Ku coba jelaskan kepada mereka, ada dua kemungkinan
mengapa hutan bisa terbakar, ada yang terbakar secara alami ada juga yang
sengaja dibakar. "Kenapa sengaja dibakar..?" tanya temannya Mamat.
"Mau dijadikan kebun Sawit nak", jawabku. Seperti yang telah
terungkap saat ini, begitulah mengapa hutan dibakar untuk kepentingan tertentu.
Coba sajalah googling atau ikuti informasi dari LSM pemantau sawit, kalau ingin
data konkritnya.
Ternyata
penyebab kabut asap sangat dekat dengan kita. Dan kita sangat sulit beranjak
darinya, termasuk diriku yang sudah sangat bergantung pada minyak goreng dari
sawit. Oleh karena itu aku mengajak anak-anak membuat minyak goreng dari
kelapa. Merekalah yang kelak akan menentukan, apakah tetap membabat hutan atau
tidak. Setidaknya banyak pohon kelapa yang tumbuh dengan tidak
mengalihfungsikan hutan kalau kita mau membuat sendiri minyak goreng dari
kelapa. Jadi anak-anak kelak memiliki pilihan, apakah mereka ingin mandiri dan
melestarikan lingkungan atau tidak.
Banyak hal
yang dulu kita miliki kini telah direnggut oleh orang lain. Tidak hanya minyak
goreng yang telah hilang dari tradisi kita sehari-hari, hampir semua yang ada
di sekitar kita dikuasai oleh orang lain. Konon dulu setiap rumah tangga di
desa membuat minyak goreng dari kelapa. Banyak pula yang mahir memanjat pohon
kelapa untuk mendapatkannya. Karena selain menjadi minyak goreng, kelapa juga
bisa menjadi beraneka macam bahan makanan. Kini keahlian mengolah bahan makanan
sendiri, merawat pohon di sekitar tempat tinggal dan berolahraga dengan
memanfaatkan alam telah terkikis dalam masyarakat.
Interaksi
antara masyarakat dengan pohon kelapa bahkan di beberapa daerah telah
menumbuhkan sebuah budaya. Dalam Bekisar Merah, Ahmad Tohari telah
menggambarkannya secara gamblang sebuah desa bernama Karangsoga yang
sebagian besar menjadi pemanjat kelapa untuk menyadap nira. Tidak ada istilah jatuh dari pohon
kelapa disana, mereka menggantinya dengan kodok lompat agar mereka tetap kuat
jika terjdi insiden jatuh dari pohon kelapa. Para pemanjat pohon kelapa
masing-masing punya gaya berkomunikasi dengan istrinya, yakni dengan meniup
pongkor wadah nira yang masih kosong sehingga berbunyi “hung”. Tentu yang masih
kita ingat adalah mainan gasing dari bakal buah kelapa untuk anak-anak, disana pasti
juga ada. Dan masih banyak lagi. Kini romansa itu perlahan mulai hilang. Tak
ada yang salah dengan sawit tapi orangutan pun mungkin tak sanggup
bergelantungan di pelapahnya. Jadi karenanya tidak hanya alam yang rusak atau
orang-orang menjadi susah bernafas tetapi juga tentang romansa yang hilang.
Aku pun hanya bisa turut prihatin. Yang bisa kulakukan
hanyalah mendidik anak-anak agar mereka tidak mengulangi kesalahan generasi
saat ini. Saat Mamat meminta uang untuk membeli layangan sambil membawa
layanganya yang bolong, aku menolaknya. Ku ajaknya menambal layangan itu,
dengan kertas bekas coretannya dan mengelemnya dengan nasi. Alhasil layangannya
bisa terbang kembali dan Ia ceria kembali. Ini bukan tentang mampu atau tidak
mampu membeli layangan tetapi tentang sebuah kemandirian. Kebetulan layangan
lah yang Ia bawa saat itu, dalam hal lain aku ingin mereka juga melakukan hal
yang sama. Untuk kasus kabut asap ini, aku dan anak-anak melawan asap dengan
membuat minyak goreng dari kelapa untuk memasak orangtuanya.
Aku dengan ijazahku bisa saja menjadi orang yang banyak duit
jika saja ku terima tawaran bekerja di perusahaan sawit seperti teman-temanku
saat ini. Kini aku tetap menjadi pengangguran yang setiap hari merasakan kopi
yang pahit. Tetapi setelah aku menghayati rasa pahitnya, ternyata nikmat
sekali. Memang hidup ini senikmat kopi yang pahit.
This comment has been removed by the author.
ReplyDeletega juga semua orang kan punya selera
Delete