Aku selalu ingat tongseng ayam pojok pasar Bantul jika ingin makan di sekitar pasar Bantul. Tiap kali berada disekitar situ dan pengen makan, aku akan pergi ke tempat itu. Begitu pula hari ini. Karena bangun kesiangan dan tak sempat sarapan aku putuskan untuk makan kesana saja. Hari ini aku harus ke Polres Bantul untuk mendapatkan SKCK guna melamar pekerjaan, ojek online. Dengan mendapatkan pekerjaan mungkin hidupku lebih berfaedah buat orang lain. Meskipun ojek online masih dipandang sebelah mata, apalagi buat lulusan sarjana sepertiku. Dan menjadi tukang sangrai kopi tradisional belum mampu membuatku hidup mandiri. Ya sudahlah aku ikuti saja seperti kata temanku asal Nganjuk “Saiki wes wayahe manut miline banyu...”
Dari
sisi timur Bantul aku menyusuri jalan menuju pusat pemerintahan di tengah
kabupaten. Sampai di sisi timur perempatan masjid Agung Bantul, sambil menunggu
lampu berubah hijau, aku sudah merasa aneh. Apa aku sakit lagi? Tanyaku pada
diri sendiri, badanku terasa panas. Rasanya ekstrim perubahan suhu badanku
karena barusan melewati areal persawahan yang luas dan terasa sejuk. Harusnya
suhu disekitar sini juga sejuk karena sepanjang jalan ditumbuhi pohon-pohon rindang,
khas kota Bantul. Aku selalu suka melewati jalan ini, bisa dibilang jalan
Bantul adalah jalan favoritku. Aku bahkan pernah berkhayal seandainya
jalan-jalan di kota Jogja juga seperti ini, pasti orang-orang pada selow karena
mendapatkan banyak oksigen dari pohon-pohon itu. Mungkin orang-orang akan
berjalan pelan membawa kendaraannya untuk menikmati sejuknya jalan itu. Dan
mungkin akan jarang orang yang bertanya “Kronologine piye Lur...?” di grup ICJ
karena jarang ada kecelakaan. Kadar oksigen yang tinggi mampu membuat otak kita
semakin fresh sehingga kita bisa fokus dengan konsentrasi tinggi. Apalagi pohon
yang rindang membuat kita berjalan hati-hati karena minimnya cahaya yang
menembus sampai di jalan. Yang paling penting, banyaknya pohon disekitar jalan
mampu menyerap polutan dari kendaraan kita.
Aku
memang habis sakit, demam dan salah minum obat. Jadinya pinggang kananku terasa
sakit sampai ke kaki, bahkan migrein. Setelah aku gugling ternyata ada masalah
dengan ginjalku. Lalu aku sikat dengan banyak minum air mineral, hasilnya
lumayan, sakitnya berangsur pulih. Itu sudah minggu lalu, jatahnya mengambil
SKCK juga minggu lalu sampai masa berlakunya habis dan harus bikin lagi secara online.
Bikin SKCK sekarang gampang tetapi tidak mudah bagiku setelah menyadari bahwa
pohon-pohon yang rindang di jalan Bantul itu sudah tidak ada. Alangkah
terkejutnya diri ini saat memasuki kota Bantul. Bukan badanku saja yang terasa
panas tetapi juga sepanjang jalan Bantul juga demikian.
Oh
ternyata namanya bukan jalan Bantul tapi jalan Jenderal Sudirman. Ya, jalan itu
sekarang sangat gersang dan berisi alat alat berat salah satunya ekskavator, truk-truk
besar, dan chain saw. Masih berserakan dedaunan, ranting, dahan, dan beberapa
potonganan batang pohon beserta remah-remah kambium kering di tengah jalan.
Arus kendaraan dialihkan ke pinggir jalan, yang dulunya kalau tidak salah untuk
sepeda, becak dan kendaraan tak bermesin. Jauh sebelum Jogja punya Sego Segawe
di Bantul sudah ada jalur untuk sepeda. Penyumbang tenaga kerja untuk kota
Jogja ya siapa lagi kalau bukan Bantul. Dulu para pekerja naik sepeda berangkat
ke tempat kerja di kota meskipun rumahnya jauh di Bantul. Mereka melewati jalur
sepeda itu. Sekarang mana ada orang berangkat kerja naik sepeda. Dan sebentar
lagi mungkin jalur sepeda itu sama nasibnya dengan pohon-pohon besar
disampingnya. Mereka akan dimusnahkan.
Aku
harus fokus menyelesaikan urusanku di Polres untuk SKCK karena waktu sangat
terbatas. Aku abaikan rasa panas di sepanjang jalan dan melupakan kenangan masa
lalu tentang jalan itu. Tapi ternyata prosesnya cepat, tidak sampai setengah
jam aku sudah dapat SKCK. Nah, untuk mengatasi rasa lapar aku putuskan untuk
cepat-cepat ke tongseng ayam di pojok pasar Bantul. Keluar dari kantor Polres
rasa panas langsung menyengat, aku kembali teringat bahwa pohon-pohon yang
selalu membuat nyaman warga Bantul itu sudah hilang termasuk didepan Polres.
Pohon-pohon yang membawa kesejukan setelah berurusan dengan Polisi itu tinggal
khayalan belaka.
Penebangan
pohon dan kerusakan alam selalu menyakitkan, hanya saja kita selalu terlambat
menyadarinya. Aku beruntung tidak tinggal di kawasan itu sehingga tidak akan
lama aku merasakan penderitaan hawa panas ini. Ah, namun terlalu egois kalau
aku hanya memikirkan diri sendiri. Tapi apa yang bisa aku lakukan saat ini. Nasi
sudah menjadi bubur, pohon-pohon itu sudah hilang. Lain ceritanya kalau
pohon-pohon itu masih ada dan terdengar wacana mau menghilangkannya. Kita bisa
menolak.
Oh
iya, aku jadi bertanya-tanya, apakah ada penolakan sebelum pohon-pohon itu
hilang? Ataukah terjadi begitu saja? Kurang afdol rasanya jika tidak menyelami
masalah ini. Itung-itung bentuk solidaritasku atas semua ini aku akan menunda
ke kantor ojek online untuk mendapatkan kerjaan. Lalu aku akan berjalan dari
Polres ke pasar Bantul untuk makan tongseng ayam, tentu saja sambil kepo.
Jaraknya tidak jauh buatku karena aku terbiasa jalan kaki. Saat terlalu lama menunggu
bus yang menuju ke arah rumahku saja aku jalan kaki, dari terminal Giwangan
menyusuri jalan yang searah dengan makam Raja-raja Mataram menuju rumah.
Meskipun kurang berarti, langkah ini tetap ku alunkan, motorku pun aku tinggal
di kantor Polres. Jelas tidak sebanding apa yang aku lakukan dengan keadaan
ini. Pohon hilang, panas menyengat, debu-debu berterbangan, sangat tidak
nyaman.
Benar
saja, sepanjang jalan menuju pasar Bantul orang-orang bercengkrama tentang
pohon-pohon yang hilang itu. Aku tetap diam tidak ikut nimbrung dan terus
berjalan menuju tongseng ayam, aku hanya sekedar menguping pembicaraan mereka.
Padahal aku sangat ingin tahu kapan dimulainya proyek ini dan mengapa itu
dilakukan. Terdengar ada yang bilang “Sudah sejak awal bulan ini dikerjakan” di
sebuah angkringan, ada yang bilang juga “jalan mau dilebarin untuk akses ke
bandara Kulonprogo.” Yang jelas mereka tampak kecewa. Aku tak tahu apakah
mereka asli tinggal disitu atau hanya kebetulan lewat, seperti diriku.
Sampailah
aku di tongseng ayam, warungnya penuh pengunjung hingga aku tidak kebagian
tempat untuk makan. Sabar aku menunggu sampai ada yang selesai makan lalu
gantian aku memakai meja kursinya. Aku dapat tempat diluar warung paling pojok
tepat berada di belakang orang jual gorengan, meskipun kurang nyaman aku yakin
datangnya tongseng ayam di meja ini akan membuat suasana hati menjadi ceria. Disebelahku
ada pria paruh baya yang sedang menunggu pula datangnya tongseng ayam, istrinya
menunggu didepan meja kasir sekaligus tempat meracik tongseng ayam. Tak
kusangka Ia memulai sebuah pembicaraan kepadaku “Kok bisa begini ya?” aku
pura-pura kaget dan memberi tanda kurang jelas suaranya karena waktu Ia
berbicara berbarengan dengan tukang gorengan memasukkan bahan gorengannya ke
penggorengan, lalu aku menjawab “Apanya pak?” “Lho gimana to mas, lha itu ilang
semua pohonnya, jadi panas banget begini” Bapak itu berbicara sambil menunjuk
ke arah jalan. Aku pun kebingungan mau berbicara apa, aku tanyakan saja
“Memangnya warga nggak diajak rembugan pak sebelum ditebang?” Bapak itu
menjawab tidak tahu dan hanya bilang “Bupatinya baru mas.” Aku tidak tahu apa
maksudnya. Ingin aku katakan harusnya warga diminta pendapat sebelum dieksekusi
tetapi istrinya sudah mendapatkan bungkusan berisi tongseng ayam dan
mengajaknya pergi.
Sejenak
aku merenung saat masih di meja makan sambil menikmati saat-saat terakhir porsi
tongseng ayam. Bantul tidak memiliki tanda pengenal seperti halnya Jogja dengan
tugu pal putihnya. Dulu aku mencari-cari apa identitas kota ini. Setelah aku
memahami bahwa identitas tidak terlalu penting namun perilaku dan mental kita lah
yang paling penting, aku berhenti memikirkannya. Aku menemukan banyak orang
yang diam-diam berkontribusi untuk kemajuan bangsa ini dan melakukan kebaikan
tanpa mencari eksistensi, di kota ini. Aku menemukan banyak orang yang tanpa
pamrih rela berkorban tanpa mengharapkan apapun apalagi harta yang berlimpah,
di kota ini juga. Aku melihat kesamaan
dengan identitas kota ini, yaitu anggap saja pohon-pohon itu. Mereka memberikan
kesejukan dan banyak manfaat tanpa banyak bergerak, memang begitulah takdir
pohon.
Aku
sangat menyesal telah banyak berkegiatan diluar kotaku sendiri sehingga tidak
mengetahui sejak awal pohon-pohon itu hilang dan tidak bisa melakukan apa-apa.
Lalu aku harus menyamakan warga Bantul dengan apalagi jika di Bantul sudah
jarang ditemui simbol-simbol tentang alam? Banyak daerah yang masih alami
dijadikan tempat wisata disini, pasti banyak yang hilang fungsi alam
sebenarnya. Tau lah karakter orang kita bagaimana. Tentang Jalan Bantul eh
Jalan Jenderal Sudirman dan pohon-pohon itu, kalau benar untuk akses ke bandara
baru di Kulonprogo berarti pohon-pohon itu dikorbankan untuk kepentingan pembangunan.
Aku jadi ingat waktu jalan-jalan ke pantai di Gunungkidul, disana aku berjumpa
dengan para petani yang pulang berladang dan peternak yang sedang ngarit
melewati jalan utama ke pantai tersebut. Mereka sering terancam nyawanya
gara-gara para pengendara membawa kendaraannya dengan kecepatan tinggi dan
tidak memperhatikan petani dan peternak yang lewat dijalan yang sama. Aku jadi
bertanya-tanya, jalan itu sebenarnya untuk siapa? Untuk petani yang membawa
hasil panennya? untuk peternak yang membawa hasil ngaritnya? atau untuk
wisatawan yang memuaskan nafsu travelingnya?
Aku
juga bertanya tentang jalan itu, sebenarnya dibuat untuk siapa? Dan aku sangat
kecewa dengan apa yang telah terjadi. Walaupun nanti akan ditanam pohon yang
baru, pasti akan beda rasanya. Ini bukan masalah pohon baru atau tidak. Ini tentang
tujuan awal pohon itu ada (ditanam). Wisatawan yang pergi ke pantai Gunungkidul
harusnya memahami bahwa jalan itu bukan miliknya maka sepantasnya mereka menghormati
petani, peternak, dan warga sekitar dengan berhati-hati berkendara. Begitu juga
para penebang pohon di jalan itu, harusnya menghormati keberadaan pohon itu
beserta nilai yang terkandung didalamnya. Lha kok malah menghilangkannya. Apakah
ini awal dari perubahan status Bantul yang ndeso ke urban? Aku harap tidak
demikian, karena aku suka ndesonya Bantul.
Ah
ngomong-ngomong soal rasa, tongseng ayamku ternyata sudah habis. Aku lupa
membandingkan rasanya, apakah masih sama seperti yang dulu. Pastinya yang
sekarang jauh lebih panas.
Pleret,
21 Agustus 2017
Comments
Post a Comment